Sabtu, November 17, 2012

--- Kisah Gadis Kecil dan Hasan Al Bashri ---

Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusut dan terurai, tak beraturan.

Al-Bashri ter

tarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu.

Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya.
“Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.”

Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, “Ayahmu juga sebelumnya tak mengalami peristiwa seperti ini.”

Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makam ayahnya.
“Gadis kecil yang bijak,” gumam Al-Bashri. “Aku akan ikuti gadis kecil itu.”

Gadis kecil itu tiba di makam ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri.

“ Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah? Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam ? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah ? ”

“Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalm, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikan tadi malam Ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?”

Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.

“Hai, gadis kecil! jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah, “Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercbik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, ayah?”

“Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya?”

“Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain kafan dari mana, Ayah?”

“Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?”

“Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?”

“Jika kupanggil, engkau selelu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?”

“Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti.”

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, “Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”

Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah,

***

Jumat, November 16, 2012

Cerita, "Roda"

Suatu ketika, ada sebuah roda yang kehilangan salah satu jari-jarinya. Ia, tampak sedih. Tanpa jari-jari yang lengkap, tentu, ia tak bisa lagi berjalan dengan lancar. Hal ini terjadi saat ia melaju terlalu kencang ketika melintasi hutan. Karena terburu-buru, ia melupakan, ada satu jari-jari yang jatuh dan terlepas. Kini sang roda pun bingung. Kemana kah hendak di cari satu bagian 
t
ubuhnya itu?

Sang roda pun berbalik arah. Ia kembali menyusuri jejak-jejak yang pernah di tinggalkannya. Perlahan, di tapakinya jalan-jalan itu. Satu demi satu di perhatikannya dengan seksama. Setiap benda di amati, dan di cermati, berharap, akan di temukannya jari-jari yang hilang itu.

Ditemuinya kembali rerumputan dan ilalang. Dihampirinya kembali bunga-bunga di tengah padang. Dikunjunginya kembali semut dan serangga kecil di jalanan. Dan dilewatinya lagi semua batu-batu dan kerikil-kerikil pualam. Hei....semuanya tampak lain. Ya, sewaktu sang roda melintasi jalan itu dengan laju yang kencang, semua hal tadi cuma berbentuk titik-titik kecil. Semuanya, tampak biasa, dan tak istimewa. Namun kini, semuanya tampak lebih indah.

Rerumputan dan ilalang, tampak menyapanya dengan ramah. Mereka kini tak lagi hanya berupa batang-batang yang kaku. Mereka tampak tersenyum, melambai tenang, bergoyang dan menyampaikan salam. Ujung-ujung rumput itu, bergesek dengan lembut
di sisi sang roda. Sang roda pun tersenyum dan melanjutkan pencariannya.

Bunga-bunga pun tampak lebih indah. Harum dan semerbaknya, lebih terasa menyegarkan. Kuntum-kuntum yang baru terbuka, menampilkan wajah yang cerah.
Kelopak-kelopak yang tumbuh, menari, seakan bersorak pada sang roda. Sang roda tertegun dan berhenti sebentar. Sang bunga pun merunduk, memberikan salam
hormat.

Dengan perlahan, dilanjutkannya kembali perjalanannya. Kini, semut dan serangga kecil itu, mulai berbaris, dan memberikan salam yang paling semarak. Kaki-kaki mereka bertepuk, membunyikan keriangan yang meriah. Sayap-sayap itu bergetar, seakan ada ribuan genderang yang di tabuh. Mereka saling menyapa. Dan, serangga itu pun memberikan salam, dan doa pada sang Roda.

Begitu pula batu dan kerikil pualam. Kilau yang hadir, tampak berbeda jika di lihat dari mata yang tergesa-gesa. Mereka lebih indah, dan setiap sisi batu itu memancarkan kemilau yang teduh. Tak ada lagi sisi dan ujung yang tajam dari batu yang kerap mampir di tubuh sang Roda. Semua batu dan pualam, membuka jalan, memberikan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah lama berjalan, akhirnya, ditemukannya jari-jari yang hilang. Sang roda pun senang. Dan ia berjanji, tak akan tergesa-gesa dan berjalan terlalu kencang dalam melakukan tugasnya.

~Author Unknown~

Sahabatku, begitulah hidup. Kita, seringkali berlaku seperti roda-roda yang berjalan terlalu kencang. Kita sering melupakan, ada saat-saat indah, yang terlewat di setiap kesempatan. Ada banyak hal-hal kecil, yang sebetulnya menyenangkan, namun kita lewatkan karena terburu-buru dan tergesa-gesa.

Hati kita, kadang terlalu penuh dengan target-target, yang membuat kita hidup dalam kebimbangan dan ketergesaan. Langkah-langkah kita, kadang selalu dalam keadaan panik, dan lupa, bahwa di sekitar kita banyak sekali hikmah yang perludi tekuni.

Seperti saat roda yang terlupa pada rumput, ilalang, semut dan pualam, kita pun sebenarnya sedang terlupa pada hal-hal itu.

Sahabatku, coba, susuri kembali jalan-jalan kita. Cermati, amati, dan perhatikan setiap hal yang pernah kita lewati. Runut kembali perjalanan kita.

Adakah kebahagiaan yang terlupakan? Adakah keindahan yang tersembunyi dan alpa kita nikmati? Kenanglah ingatan-ingatan lalu. Susuri dengan perlahan. Temukan keindahan itu!!

salam sahabatQ,

Rabu, November 14, 2012

1001 Burung Kertas

Galang dan Alya, sepasang kekasih yang berasal dari dua keluarga yang berbeda status sosial. Alya berasal dari keluarga kaya dan serba berkecukupan, sedangkan Galang berasal dari keluarga miskin yang menggantungkan kehidupannya pada warung kecil didepan rumah.

Galang sangat mencintai Alya. Sebagai ungkapan rasa cinta ini, ia telah melipat 1000 buah burung kertas dan Alya dengan
 senang hati menggantung burung-burung kertas tersebut dikamarnya. Dalam tiap burung kertas Galang tuliskan berbagai harapan. Banyak sekali harapan yang telah diungkapkan. Semoga kita selalu saling mengasihi satu sama lain, semoga Tuhan melindungimu dari bahaya, semoga kita mendapatkan kehidupan yang bahagia dsb. Semua harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang diberikan kepada Alya.

Suatu hari Galang melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu dilipat dengan kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda dengan burung-burung kertas lainnya. Ketika memberikan burung kertas spesial ini ia berkata, “Alya, ini burung kertasku yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya kejujuran dan keterbukaan antara kita. Aku akan melamarmu dan akan segera menikahimu. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua”.

Saat mendengar kalimat itu Alya menangis lalu berkata, “Galang, senang sekali aku mendengarnya, tetapi aku telah memutuskan untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh uang seperti kata orang tuaku”.

Ia marah sekali saat mendengar jawaban itu hingga mengatai Alya sebagai cewek matre, orang tak berperasaan, kejam, dan sebagainya. Tanpa basa-basi ia pergi meninggalkan Alya yang menangis seorang diri.

Kejadian itu membakar semangatnya. Ia pun bertekad bahwa ia harus sukses dan menggapai keberhasilan. Sikap Alya dijadikan cambuk untuk maju dan maju. Dalam setahun usahanya menampakkan hasil. Ia diangkat menjadi kepala bagian ditempatnya bekerja dan dalam tiga tahun ia telah diangkat menjadi seorang manajer. Dua tahun kemudian ia berhasil mempunyai 50% saham diperusahaan tersebut. Sekarang tak seorangpun yang tak kenal dengannya, ia adalah bintang kesuksesan.

Suatu hari ia berkeliling kota dengan mobil mewah keluaran terbaru. Tiba-tiba dilihatnya sepasang suami-istri yang serasa tak asing tengah berjalan diteriknya matahari. Suami istri itu kelihatan lusuh dan tidak terawat. Ia pun penasaran lalu mendekati mereka. Didapatinya bahwa suami istri itu adalah orang tua Alya. Ia mulai berpikir untuk memberi pelajaran mengingat kesombongan mereka dimasa lalu, tetapi nuraninya melarang hingga niat tersebut dibatalkan. Akhirnya diputuskan untuk membuntuti kemana perginya kedua orang tua itu.

Ia terkejut ketika melihat orang tua Alya masuk ke komplek makam dan mendatangi sebuah pusara yang dipenuhi dengan burung kertas. Lebih terkejut lagi ketika mendapati nama Alya dibatu nisan makam. ”Apa yang terjadi ibu?” tanyanya. Orang tua Alya terkejut dan menoleh lalu berkata “Oh Galang, ternyata Alya benar, kami tak akan kesulitan menemukanmu. Sekarang kami jatuh miskin. Harta kami habis untuk biaya pengobatan Alya yang terkena kanker rahim. Meski sudah berusaha tapi kami tak mampu menyelamatkannya. Alya sempat berpesan agar kami menyampaikan permintaan maafnya padamu. Ia juga menitipkan surat ini untukmu”.

Tanpa pikir panjang, dibacanya surat itu. “Galang, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku terkena kanker rahim yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak mungkin mengatakan hal ini saat itu, karena jika itu kulakukan, aku akan membuatmu jatuh dalam kehidupan penuh keputusasaan yang akan membawa hidupmu pada kehancuran. Aku tahu semua tabiatmu, karena itu aku lakukan ini. Aku mencintaimu Galang. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik untukmu”. Alya.

Linangan bening tak lagi terbendung meski tangis itu kini tiada berguna. Ia telah berprasangka buruk terhadap Alya. Mulai merasakan betapa hati Alya teriris ketika ia mencemoohnya, mengatainya matre, kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa Alya kesepian seorang diri dalam kesakitannya hingga maut menjemput. Betapa Alya mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan itu. Tetapi ia lebih memilih untuk menganggap Alya sebagai seorang matre tak berperasan. Alya telah berkorban untuknya agar ia tak jatuh dalam keputusasaan dan kehancuran.

Cerita ini ditulis untuk menjadi sebuah renungan.
Cinta bukan hanya sebuah pelukan atau ciuman tetapi cinta adalah pengorbanan untuk orang yang sangat berarti bagi kita.